Jumat, 02 Desember 2016

Aku Tetap Memiliki

Sekarang aku tau kenapa banyak lorong menuju Roma
Setiap lorong tak harus nyata
Hanya tentang bagaimana persepsi kita menggapai Roma
Dalam lorongku, bukan lorong lainya

Romaku itu Roma mu, Roma kalian, Roma kami, Roma kita pula
Tapi setiap Roma yang digapai dari setiap lorong, itu tak sama
Romaku hanya digapai oleh sang aku, dan lewat lorongku
Romaku hidup di duniaku

Mereka bilang Romaku hanya imajinasi, mimpi
Karena Roma mereka tak serupa milikku
Biarkan aku mengagumi dan memiliki Romaku melalui apa caraku
Takala aku tak bisa gapai sang Roma di dunia yang mereka anggap

Nikmati dan Kau pun Kan Tau

Tanyamu . . .
Aku ingin tau, caramu menyeduh teh itu
Bicaraku . . .
Seduhlah teh itu, kau tak perlu tau

Tanyamu . . .
Bagaimana mu mencintaku 
Bicaraku . . .
Tak lain seperti payung itu

Bicaramu . . .
Aku tak paham maksud mu
Tanyaku . . .
Bisa kah kau menikmati saja saat aku mecintaimu

Rabu, 30 November 2016

Saat Itu

kulelapkan jaket itu di kursi sebelahku
ku dengar desir pasir tergeser angin di atas kanopi
sayup namun pasti alunan angklung gantung menggerutu
ya, sang mentari tak kian menombak

detik ini aku telah meutuskan
tak berlarut - larut dalam sekaratku
sesekali terpejam lepas itu kulihat di kiriku
barisan judul buku yang bersembunyi malu - malu
dalam biorama ini layaknya aku sedang menunggu
meskipun aku sendiri

ya, aku menunggu diriku bangkit sepenuhnya
bangkit dari jerat sekarat
dan mulai kudapati inspirasi
besar harapku, aku mencapai tepi padang pasir jemu

Titik Puncak

aku pahlawan ku
banyak asa guguur untuk merebut tempatku
sempat aku terlena dibuatnya
maka, adakah yang lebih mengancam?

                                                   

                                             aku adalah musuh ku
                                             lentera perjuangan kemarin harus aku tanggalkan
                                             sadarku akan musuh tersirat kian menjelas
                                             aku terdiam haus akan semangat
                                             namun kau tau, aku sekarat

Bangsawankanlah Aku . . .

Derap lari sang pasukan rintik kian menyungkurkanku
Nirwana imajinku mencukupkanku berada di dalamnya
Terjaga namun bergemulai aku dipaksanya
Sedih teramat berselimut api membara

                                    Lagi dan berulang....
                                    Kawah emosi diantara selip angin duka
                                    Jangan ditanya,
                                    Tirakatku jauh dari sekedar khayalmu

Gagalkah aku membangsawankan diriku ?
Aku lelah bertindak bak ksatria
Atau bahkan hanya menjadi sehina gulang - gulang bila berbanding
Memang jauh dari adil

                                    Debur igau mengusik dan panasnya kabut berintik
                                    Seperti layaknya mereka yang jelata
                                    Ada yang memuja, pula berburuk sangka
                                    Banyak kira yang terbalut senyum palsu dibuatnya
                                    Tapi aku tek peduli

Celetupku sambil terlemas
Aku mati aku maati aku mati
Selalu saat rotasi sang kyai diujung  gelap
Aku bertugas kembali

                                    Berlagak menjadi gulang - gulang
                                    Tapi untuk siapa ?
                                    Bahkan aku tak perlu emban
                                    
Apakah imajinku akan seorang yang berimajinasi dalam nirwana, haram ?
Sesak, dingin, sakit, gatal, pucat, sekarat
Bilakah aku bisa mengkudeta
Aku ingin menjelma seorang bangsawan

Syairku Tak Berulang

sore pukul 8 hujan awet berkumandang
lama sempat aku terdiam tadi
tetiba muncul hasratku tuk mrangkai suara membuat lagu
perlahan mulutku pun berucap
tanpa ada imajinasi jelas nada apa yang kumainkan

ingin ku mengulang nada yang telah tercuap - cuap
tapi semakin lupalah aku akan nada pertama
saat kudapati nada pasti, tibalah fikirku merangkai kata
kata menjadi bait, bait menjadi lirik

sembari aku teringat
selama ini benarkah lirik lagu akan berulang ?
berulang di akhir klimaks inti lagu
maka kubuatlah lirikku berulang

tapi aku merasa janggal
jika lirikku harus ku ulang
saat bergerak tanganku mencatat kata
serasa syairku terus berjalan
syairku tak bisa berulang

terasa kasihan jika kuputuskan berulang
aku tak ingin jadi pengekang imajinku
aku tau ini penyimpangan
tapi apa yang kudapati
ungkapan nalar yang lebih dari hanya sekedar lirik yang berulang

Selasa, 29 November 2016

Entalpi Kesedihan

nafas terhela takala ku injakan beberapa lentikkanku atas pasukan dawai ini

dengan ku awali ekspansi yang sering terbit tanpa ( ingin ) aku sengaja antara roh, akal dan otot

rajin aku menengadah sembari merekatkan kedua switch mataku, mengerutkan tumpuan sujud dan mengikal kuat kuat cambuk kepalaku

lagi....
terekspansi sebuah renungan kecil menjadi luapan yang tercekik tali batin, tak bisa terkondensasi bersama pikiran - pikiran sumuk milikku

aku iri..

aku ingin....

namun....

kenapaa demikian...

apakah hanya gumpalan roh ini yang merasa tak bisa memuragabayai dirinya sendiri?

semakin aku bertanya, semakin kecut rasa nafasku 

terasa tak pantas aku menengadah, tunduk dan menunduk, menurunkan kadar viskositas motivasi diri lah yang mungkin terharuskan ...

karena apa

percumah....
karena haya rasa percumah

saat ku tanggalkan dalam - dalam penopangku ini pada lumpur kepercayadirian, selau muncul pikiran sumuk, dengan kalor yang meledak - ledak membawa entalpi tentang seutas kesedihan dan rasa malu yang amat sangat

dengan tempat aku tanggal saat ini, cukupkah aku berhenti dari rasa lelah, rasa iri untuk menjadi puragabaya yang lebih dan lebih?

malu, terang sekali di samping kesedihan itu terdapat ia yang mendampingi

malu tak bisa mengkondensasikan pikiran saturasiku untuk mengekspansikan semua - semuanya dengan harapan aku dapat mendingin layknya aliran refrigeran itu

malu karena selalu iri

malu karena selalu tak puas

malu karena terasa ta ada puragabaya lain yang menanggalkan pengokohnya di tempatku ini

dari pintu terluar terkadang dengan remang aku berkata layaknya aku seorang puragabaya yang selalu aku gantungkan dalam benak imajinasi, tapi dari jendela terdalam, aku bukan materi yang ductile

mahkotaku selalu terasa berat, karena aku tak bisa mengikhlaskan derai cemara kicau kenari semilir angin bahkan detik jam dinding yang seakan menarikku

aku malu...

Pulangkan Aku, Plento

Plento aku ingin pulang . . . .


Sesekali,terbesit kleningan yang mengelu- elu tentang hening, hening yang berbisik "biarkan aku dan aku yang tau".

Sesekali disaat terayun hela nafas yang panjang, tercoba tentang kleningan hening itu.

Tapi terbesit pula eluan kleningan tentang hening yang lebih besar, heningan akan realita, dan heningan yang kecil sebelumnya sudah terang teranggap sebagai omong kosong !

Aku ingin pulang, pulang menjadi Plento yang dulu, Plento yang masih membawa hening akan "biarkan aku dan aku yang tau". 

Sebenarnya, mungkin atau tidak untukku pulang menjadi Plento yang dulu selalu ada harapan, tapi . . . . . . .

Ketika ingin ku utarakan " biarkan aku dan aku yang tau ", selalu berlari ke arahku memecah hening itu dengan membawa sebuah keomong kosongan.

tapi . . . . .

keomong kosongan itu membawaku pada kegelisahan.

Aku kini terbingkai biorama kesombongan. Aku ingin lepas, Plento . . . .

Tapi ini bukan karmaku seutuhnya, mereka, ya aku yakin ini adalah buah kebencianku akan mereka Plento.

Aku tak bisa mengangguk dan  menarik ujung bibirku saja saat mereka melakukan itu

Aku benci itu, Plento

Dendam, namun aku tak yakin

Obsesiku tak lebih dari ingin menyodorkan setiap apa yang berhasil aku langkahi, dengan anggap itulah perjalanan karma mereka.

Tapi semakin aku lakukan semakin terseaklah aku di padang pasir kebencian tak berjemu

Plento, aku ingin pulang, pulang menjemalmu yang dulu, yang tidak pernah merasakan hening yang sekarang aku rasakan...